Rabu, 03 Januari 2018

Kata ayam tentang kehidupan

Suatu ketika, seekor induk ayam baru saja menetaskan telur - telurnya menjadi lima ekor anak ayam, sedangkan sebutir telur tidak menetas. Seperti biasa ayam yang sudah menetas biasanya langsung berjalan mengikuti induknya untuk mencari makanan. Hiangga suatu hari ayam pertama dengan tidak sengaja menginjak pinggir tempurung kelapa yang sedang terbuka. Karena beratnya badan ayam, tempurung tersebut berbalik lalu menutup anak ayam tersebut. Rasanya gelap gulita, dia tidak melihat apa - apa. Ia berusaha untuk keluar tapi tidak bisa. Tidak bisa melihat induk dan saudara - saudaranya. Kejadian yang begitu cepat membuatnya berpikir bahwa induk dan saudaranya mengalami hal yang sama sepertinya yaitu berada dalam tempat yang sempit dan gelap. Setelah pulang ke rumah, induknya baru menyadari dia telah kehilangan seekor anak kesayangannya. Iya mencoba mencarinya tapi tidak ditemukan lagi. Air mata kesedihan menetes dari mata bening induknya. Ia tetap berusaha tegar untuk menghidupkan anak - anaknya. Anak ayam pertamapun kelaparan dan mati.

Di waktu yang lain seekor elang datang dan menerkam ayam ke- dua. Kaki yang besar dan kuat menggenggam tubuhnya hingga tidak dapat bergerak. Kukunya yang tajam menusuk kedalam daging memperkuat cengkraman. Lalu yang paling sakit adalah saat ia mencabik - cabik bulu dan daging ayam itu lalu dimakannya. Saat itu pula ayam itu menghembuskan napas terakhirnya. Hati induk ayam kembali teriris melihat anaknya direnggut si elang.

Seiring berjalannya waktu anak - anak ayam itu semakin besar. Induk ayam harus berpisah dengan tiga ekor anaknya karena dia harus kembali bertelur. Diberinya nasihat kepada tiga anaknya untuk bisa mandiri dalam mencari makan. Saling melindungi dan menyayangi antara satu dengan yang lain. Saling memberi kode jika ada bahaya yang mengancam. Lalu induknya pergi karena dia merasa telurnya akan segera keluar.

Beberapa minggu setelah mengeram, induknya kembali menemukan anak-anaknya. Sayangnya mereka hanya tersisa dua ekor. "Mana saudaramu yang ke - tiga?". Tanya induk kepada dua ekor anaknya. Anak yang ke empat memalingkan wajahnya ke kiri dengan raut yang sedih sambil menahan air mata yang sudah terkumpul semakin banyak di kedua matanya. Mereka merasa bersalah dan tidak berani menatap mata induk mereka. Ayam ke - lima hanya tunduk diam dan tidak menjawab apa - apa. Lalu sekali lagi induknya menanyakan pertanyaan yang sama tetapi dengan nada yang lebih tinggi. "Malam itu kami baru saja memulai tidur, Tiba-tiba tuan kita datang dan mengambilnya lalu masuk ke dalam rumahnya. Lalu kami mendengar dia berterak dengan suara yang kurang jelas". Jawab anak ke empat dengan suara terbata - bata. Mendengar jawaban itu induknya hanya meneteskan air mata karena dia memahami apa yang sudah terjadi pada anaknya yang ke- tiga. Kemudian dia memberi penguatan agar mereka tetap semangat menjalani hidup.

"Ayo..., hajar lagi...., tendang dikepalanya".Suara teriakan terdengar riuh. Induk ayam mencoba mendekati arah munculnya suara tapi tidak terlalu dekat. Dan dia melihat kerumunan orang melingkar pada dua ekor ayam yang sedang diadu. Dia coba memperhatikan ternyata sala satunya adalah anaknya yang ke - empat. Dengan seragam pisau tajam si kakinya, dia berdiri kokoh dan kuat memperliatkan keberaniannya. Induknya langsung tersenyum bangga menyaksikan anaknya menang dalam pertandingan tersebut. Anaknya terus mengukir prestasi dan membanggakan induknya, tetapi akhirnya ia mati juga dikalahkan sama ayam lain.

Di waktu yang lain, suatu kebanggan luar biasa dari seekor induk juga ketika itu dia menyaksikan suara emas yang sangat merdu dari anaknya yang ke-lima. Saat itu anaknya mengikuti kontes ayam yang memiliki suara merdu. Anaknya pun selalu mendapatkan banyak penghargaan untuk kontes itu. Tetapi sayangnya dia diracuni oleh orang yang iri dengan suaranya dan mati. Lalu induk ayam itupun mati dan mereka saling bertemu di dunia lain. musik dan tari – tarian mengiringi kedatangan induk mereka di dunia yang lain. lalu mereka menikmati makan malam bersama sambil berbincang dan bercanda ria. “Hidup itu dingin, tidak melihat apa – apa, tenang dan tidak bergerak, hingga kamu membusuk”, kata telur yang tak sempat menetas. “Hidup di bumi itu sepih, sendirian di tempat yang sempit dan gelap. kelaparan, dan kamu tidak akan mendengarkan siapa – siapa, lalu mati”, ayam pertama menolak pendapat telur. “Tidak,, hidup itu siksaan, dimana kamu diterkam oleh makluk buas yang tak punya hati, yang akan menusuk kuku – kuku panjangnya pada tubuh mungilmu, lalu kamu dicabik – cabik hingga berdarah – darah, kemudian kamu lenyap dimakannya”, pendapat ayam ke dua tentang hidup. lalu ayam ke tiga menyambung. Dia berpendapat bahawa hidup itu hanya ada saat kamu masih kecil. setelah dewasa kamu akan merasakan ada sesuatu yang menggenggamu saat kamu tertidur, lalu kamu merasakan sebuah barang tajam bergerak di bagian bawah lehermu dan mautpun menghampirimu, kamu hanya bisa berteriak itupun hanya beberapa saat. “Kalian semua salah” sambung ayam ke empat. “Hidup itu indah, kamu akan bertarung dengan gagah dan berani, dengan ototmu yang kuat dan dilengkapi dengan pisau dikakimu. kamu akan disanjung saat kamu menjuarai sebuah pertandingan. tetapi kesombongan akan menghancurkanmu”. lanjut ayam ke empat. lalu ayam ke lima berkata, “aku hampir sama dengan ayam ke empat bahwa hidup itu indah, dan kamu harus selalu berhati – hati dalam menjalankannya, karena semakin kamu sukses, maka semakin banyak orang yang akan merasa iri dengan keadaanmu.

Pada akhirnya induk ayam menyatukan semua pendapat mereka, “Sebenarnya sudah ada yang mengatur hidup kita semua. Dia adalah Tuhan. Dia mengatur semuanya tentang apa yang terjadi dan akan terjadi. Kita hanya diminta untuk selalu berbuat baik kepada siapapun dan dimanapun.

By: Kristo Temang (Aris)

Kisah munculnya nama "weri ata" (“Menanam Orang”)

Kisah ini berdasarkan kemampuan ingatan dan pemahaman narasumber. Mohon maaf jika terjadi perbedaan pemahaman atau perbedaan isi cerita. Penulis sangat mengharapkan masukan anda jika memiliki atau memahami dengan jelas tentang kisah ini.

Pada zaman dahulu hiduplah sebuah keluarga kecil di sebuah hutan yang sekarang disebut kampung Desu, Desa Gulung, Kecamatan Satarmese utara, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.Tetapi sebelum ke sana, Poca dulu hidup di belang sebelum pindah ke kampung Desu karena tidak nyaman hidup bersama pendatang baru keturunan Wangsa Ngkuléng. Keluarga kecil ini terdiri dari sepasang suami istri dan anak sematawayang mereka yang diberi nama Tandang. Kehidupan keseharian mereka adalah berburu dan meramu untuk mempertahankan hidup mereka.

Semakin berjalannya waktu, mereka kesulitan mendapatkan makanan karena buah - buahan dan binatang buruan semakin berkurang dan sulit ditangkap. Poca ayah dari si Tandang bingung mendapatkan makana untuk menghidupkan keluarga kecilnya. Suatu ketika, saat Poca berada di tengah hutan untuk mencari makan, dia beristirahat dibawah pohon karena merasa lelah berburu seharian. Tiba - tiba dia mendengar suara aneh yang tidak jelas sumbernya, memanggil namanya. " Pocaaaa" suara yang bergema itu memanggilnya. Dia mengangkat kepalanya dan mencoba dengan cermat mendengarkan suara itu. "Pocaaaaa" dengan jelas dia mendengar suara memanggil namanya. "Iyooo ite" (bahasa daerah yang artinya "iyaaa Tuan"), jawab si Poca. "Tundu apa dhau e?"( "apa yang sedang kamu pikirkan?"), suara itu menanyakan si Poca. "Aku ite tundu mose one kilo koeg, kawe wua haju kaku toe dumpu, ngo taang wase kole kaku toe haeng, wina agu anak gaku ga toe manga hang" ("saya sedang memikirkan kehidupan keluarga kecilku, karna saya suda tidak bisa mendapatkan buah- buahan dan buruan, sedangkan istri dan anakku sedang kelaparan"). Jawab Poca dengan suara yang lemah. “eme nggitu hau diang rimu puar mese hoo, poka taungs lehau haju mesed poli hitu tapa eme dango hajud” (kalau begitu kamu harus menebang hutan yang ada di sini semampumu, kemudian bakar sisa – sisa tumbuhan yang sudah kering”), suara itu memerintahnya untuk membersihkan lahan.

Lalau Poca mengikuti semuah perintahnya. dia menghabiskan waktunya selama beberapa bulan untuk membersihkan lahan tersebut. Alat yang digunakannya adalah batu karena saat itu masih zaman batu. setelah kering dia membakarnya menggunakan batu api. Kemudian suara misterius itu muncul lagi. kali ini dia menyuruh sesuatu yang berat untuk dilakukan. Suara itu menyuruhnya untuk membunuh anak satu – satunya. Poca tidak pernah menceritakan kejadian itu kepada istrinya. Dia menyadari bahwa istrinya tidak akan setuju dengan apa yang diperintahkan melalui suara itu. Karena kebingungan menghadapi kelaparan, Poca akhirnya merencanakan pembunuhan anaknya.

Hari itu Poca mengajak Tandang anaknya untuk bersama – sama dengan dia ke tempat yang sudah dibersihkan. Dengan sikap polos dan tidak mengetahui apa – apa, Tandang mengikuti ajakan ayahnya. dengan menggunakan batu yang tajam, Poca membunuh Tandang kemudian dicincangnya lalu ditebar keseluruh bagian lahan yang sudah dibersihkan sesuai perintah yang didengarnya lewat suara misterius itu. lalu turunlah hujan deras, disertai angin kencang di tempat tersebut. lalu Poca pulang ke rumah dengan hati yang sedih memikirkan anak kesayangan mereka. Ngalas melihat poca berjalan sendiri pulang ke rumah. Dia tidak melihat Tandang anak kesayanganya. Poca mempertanggung jawabkan bahwa Tandang hilang di tengah hutan saat dia sedang berburu. Saat itu juga si Ngalas menangis dan memarahi suaminya yang tidak menjaga anak mereka.

Beberapa minggu kemudian, Poca sangat merindukan anaknya yang telah dibunuhnya. Dia ingin melihat bekas – bekas daging dan dara anaknya. Dia tidak melihat sedikitpun darah apalagi daging di tempat itu. Hanya sebuah batu lempeng tajam yang digunakann untuk memotong dan batu datar panjang yang digunakan untuk alas saat dia memotongnya (sampai saat ini kedua batu tersebut masih ada di tempat itu “weri ata”). Sedangkan pada lahan ditumbuhi berbagai macam tanaman pangan dan hortikultura. “Hitu ngasangn ne woja” (“Yang itu namanya padi”), suara itu muncul saat dia memegang tanaman padi. “Hitu latung” (“kalau yang itu jagung”). begitulah dia memberi naman semua tanaman yang tumbuh di tempat itu. Selain padi dan jagung ada juga Ndesi (labu kuning), timung (mentimun) dan masih banyak tanaman lainnya.

Tibalah saatnaya tanaman – tanaman tersebut untuk dipanen. jagungnya sudah berisi, padi sudah mau menguning, labu kuning dan mentimunpun sudah berbuah, kacang – kacangan juga siap untuk dipanen. saat Ngalas istri poca memegang sala satu jagung tersebut untuk dipanen, tiba – tiba muncul suara dari dalam jagung “ Ende... aku cee” (“Ibu.. anakmu di sini). mendengar suara itu, dia tidak berani untuk mengambil jagung tersebut. Tetapi ada sebagian jagung yang tidak mengeluarkan suara ketika dipegang, jagung itulah yang diambilnya untuk dimakan. demikian pun tanaman – tanaman yang lain.

“Ende...aku cee”. kalimat tersebut selalu dipikirkan Ngalas saat perjalanan pulang ke rumahnya. Dalam hati dia memikirkan kenapa jagung itu mengatan hal itu padanya saat dipegangnya. Tetapi dia mencoba untuk diam hingga sampai dirumah dia tidak sanggup menahan rasa penasarannya itu. Dia lalu menceritakan kejadian itu pada Poca suaminya. Mendengar cerita itu Poca langsung meneteskan air matanya merindukan anak kesayangan mereka. Ngalah malah kebingungan melihat tingkah Poca. Poca menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada istrinya. Ngalas yang merasa telah dibohongi suaminya sangat marah. Sedangkan Poca yang merasa bersalah hanya terdiam dan mengakui kesalahannya.

Sejak saat itu corak kehidupan mereka berubah dari berburu dan meramu ke budaya bercocok tanam. Poca juga mengambil istri yang ke dua yaitu Menjing dan menghasilkan keturunan yang sekarang menghuni kampung Desu dan Tampar juga ada yang tersebar ke beberapa tempat di Flores.

Kisah ini diceritakan secara turun temurun dari nenek moyang masyarakat Desu. Ini dipercayakan oleh masyarakat Desu sebagai kisah nyata dengan beberapa alat bukti. Poca, Ngalas dan Menjing adalah benar – benar nenek moyang masyarakat Desu. Kuburan mereka bertiga baru saja dipindahkan di depan “Mbaru tembong” (Rumah Adat) Desu.Sedangkan tempat yang digunakan untuk menebarkan potongan - potongan daging manusia itu, sampai sekarang disebut "Weri Ata".

By: Kristo Temang (Aris)